Menyambut Februari

        Life begins at 20, they said
        
        Bagi sebagian orang, berusia 20 tahun menjadi dambaan karena dengan begitu mereka sudah sepatutnya tidak dianggap sebagai anak kecil lagi, walaupun sejatinya kita sudah tidak bisa dianggap sebagai anak kecil lagi sejak kita mempunyai KTP sendiri. Mempunyai KTP berarti kita sudah dianggap mampu untuk menentukan arah hidup sendiri, walaupun nyatanya masih banyak orang tua yang mengatur kehidupan anaknya bahkan sampai berkeluarga, kultur tipikal Asia. 

        Bagi sebagian orang, berusia 20 tahun menjadi momok menakutkan karena itu berarti harus membuang kehidupan masa kecil, dan menjadi pribadi yang benar-benar baru demi predikat 'dewasa' bisa disandangnya. Pun begitu denganku, ketika mendekati usia 20 tahun, antusiasme merayakan ulang tahun sudah tidak lagi, beban moral disandang, pemikiran "anjing udah 20 tahun gue masih gini doang", sampai beban moral "kamu kan udah gede" terus menghantui dan mengganggu pikiran. Belum lagi hubungan dengan teman kecil, atau teman sekolah dulu yang sudah merenggang, pasangan yang sudah menunjukkan keseriusan, sementara hati masih terperangkap dalam zona nyaman untuk bermain.

        Betapa menyedihkannya ketika dunia sudah menyiapkan banyak pekerjaan untuk dilakukan, tapi aku sendiri masih berkutat dalam pencarian. Pencarian makna tentang hidup dan kehidupan, makna tentang teman dan pertemanan, makna tentang pasangan dan hubungan, makna tentang keluarga dan rumah, makna tentang belajar dan impian, dan makna tentang aku dan dunia. Begitu banyaknya hal yang harus sudah dimengerti ketika berusia 20 tahun.

        You found yourself at 20

        Dua puluh tahun dimulai dengan memperbaiki semuanya, berdamai dengan diri sendiri atas apa yang telah dilalui selama ini, menerima semua kesalahan yang pernah dilakukan, memaafkan semua yang pernah terjadi, merelakan semua yang memang bukan sepatutnya menjadi milik, dan mempertahankan apa yang ada, serta memberi makna kepada segalanya. 

        Butuh proses hampir satu tahun pula sampai akhirnya semua beban yang ada di kepala ketika menginjak usia 20 tahun teratasi, dimulai dari tahapan stres ketika menghadapi kenyataan 20 tahun yang dilewati dengan banyak kesia-siaan dan penyesalan, kemudian mencerna stres dan mencari solusi, mencoba mengejar apa yang belum tercapai, sampai akhirnya berada dalam proses penemuan jati diri.

        Menjadi 20 tahun tidak menjadikanmu harus bertindak seperti orang dewasa, tidak ada yang namanya "bukan umurnya" atau "bukan jamannya", menjadi 20 tahun bukan berarti harus meninggalkan semua yang sudah terjadi selama 19 tahun ke belakang, dirimu bukanlah pesulap yang bisa mengabulkan mantra dalam satu malam pesta ulang tahun, bukan juga super hero yang bisa berubah. Dirimu adalah dirimu, dan dirimu adalah apa yang kamu mau, berhentilah taat kepada tuntutan semesta. Kadang tak masalah untuk menyumbat telinga, memasang musik penenang, dan berjalan perlahan. Karena dewasa bukanlah tentang berubah, tapi tentang menemukan siapa dirimu sebenarnya.

        Selamat datang Februari, aku siap untuk menyambut 21 tahun dan siap untuk menikmati segala yang akan terjadi.

Kembali

                Butuh banyak waktu sampai akhirnya Aku berani kembali menulis, sejak terakhir kali menulis ketika SMP lalu terbentur anggapan bahwa menulis membuat seseorang terlihat culun, entah anggapan itu benar adanya atau hanya pembenaran yang ku lakukan ketika merasa tidak diterima dalam pergaulan kala itu. Berat rasanya ketika memutuskan untuk berhenti menulis dan bahkan menghilangkan semua jejak digital tentang segala tulisan agar tidak lagi bisa dilihat oleh dunia, aku ingin terlahir kembali. Menulis adalah salah satu coping stress, yang akhirnya tidak pernah lagi ku lakukan berkat penyalahan tadi. Keinginan untuk menjalani pergaulan dengan semestinya membuat aku tidak lagi menulis, bersamaan dengan kondisi hati yang baik membuat rasanya tidak perlu lagi mencari pelarian, menuangkan keluh ke dalam lembar kertas digital.

               Keinginan untuk menulis memberikan sedikit niat dan diteruskan dengan hembusan nafas ketika berdoa agar dapat masuk jurusan bahasa pada saat SMA, gagal masuk jurusan bahasa sampai akhirnya tidak ada lagi sedikit pun keinginan atau bahkan kemampuan dalam diri untuk kembali menulis ketika, sedikit kesempatan menjadi sutradara baikfilm maupun teater hanya menjadi pelepas dahaga di tengah gurun. Lalu entah apa yang terjadi sampai akhirnya mengambil kuliah jurusan sastra, ekspektasi dan harapan hadir untuk hidup dalam lingkungan yang membantu berkembang dan memiliki pemikiran yang sama bahwa setiap kata memiliki kekuatannya sendiri. Sampai akhirnya terbentur realita bahwa diri ini bukanlah seorang penulis, si pengaku penulis ini hanya pernah menulis kata-kata sendu dengan diksi dan majas yang entah apa jenisnya, semuanya hanyalah tentang percintaan dan pengandaian atas apa yang diri ini tidak pernah alami. 

          Wawasan kesusastraan yang sempit, kemampuan membentuk kalimat yang payah, pemahaman tentang diksi dan majas yang tidak mumpuni, ditambah lingkungan yang berkutat dalam lini sastra serius membuat diri ini rasanya tidak pantas untuk mengaku sebagai penulis, bahkan mengaku sebagai orang yang pernah menulis saja rasanya hanya akan menjadi bahan tertawaan. Mencari pelarian dengan aktif berorganisasi dan berkepanitiaan, berdalih mengatakan tersasar dalam memilih jurusan dan beberapa pembenaran lain yang diucapkan ketika ditanya mengapa aku tidak pernah menulis, padahal jawabannya hanyalah satu, tidak percaya diri. Tapi diri ini lupa apa yang diinginkan oleh hatinya, lupa akan tekadnya, lupa akan mimpinya. Menjadikan diri ini tak lebih dari seekor bebek yang mengaku menjadi ayam yang tersesat, padahal Ia berada dalam kawanan bebek.

                    Menjadi anak sastra yang tidak menulis sama saja dengan ibadah tapi tidak mengucapkan niat, mencari pembenaran lewat alasan-alasan klasik sama saja dengan tidak menerima keadaan, terus melarikan diri dari keinginan hati sama saja dengan menjadi pecundang. Mencoba sesuatu namun gagal memenuhi ekspektasi tentunya akan mendapat kritik, tapi berdiam diri tanpa pernah mencoba tentunya tidak akan mendapat apresiasi. Segala proses yang telah diri ini jalani mulai dari menulis hal-hal sendu nan bodoh, sampai akhirnya kembali menulis lagi walau entah apa yang akan ditulis akan kusebut sebagai; pendewasaan diri.

Perguruan Tinggi Turut Berperan Dalam Mencerdaskan Generasi Penerus Bangsa



“Berikan aku 10 pemuda maka akan aku guncangkan dunia”- Ir.Soekarno

Perguruan tinggi Berpengaruh Terhadap Kreativitas Anak Bangsa




Perguruan tinggi merupakan jenjang terakhir dalam pendidikan formal di Indonesia, perguruan tinggi terbagi atas perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Berbicara tentang perguruan tinggi tentu saja hal yang perlu kita bahas adalah mahasiswa, perguruan tinggi membebaskan setiap mahasiswa/i untuk mengeluarkan semuakreativitas dan pola pikir mereka, sehingga perguruan tinggi merupakan salah satu sarana untuk anak-anak bangsa dapat mengeluarkan semua kreativitas mereka tanpa ada hambatan selama itu tidak melanggar peraturan. Mahasiswa juga dituntut untuk mencari tahu sesuatu secara sendiri, sehingga mahasiswa/i yang tidak kreatif akan tertinggal baik dalam pelajaran maupun kelulusan.